Senin, 25/11/2024 15:42 WIB

Pengamat: Nusantara Pernah Miliki Hukum Tajam ke Atas dan ke Bawah

Bangsa ini pernah mempunyai sejarah keadilan yang tidak saja tajam di bawah akan tetapi juga tajam di atas dan tengah.

Ilustrasi Raja Kerajaan Kalingga, Ratu Shima. Foto: dok. jurnas

JAKARTA, Jurnas.com - Sebagai negara hukum yang berarti memiliki aturan hukum dan memegang teguh azas hukum (Rechtstaat) dalam kaitan theory the Rule of Law, konsep penyelenggara negara didasarkan atas hukum sesuai cita cita Proklamasi, berdasakan Pancasila dan UUD 1945 yang mrerupakan Dwi Tunggal, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.

Demikian disampaikan Praktisi Hukum dan Pemerhati Sejarah Agus Widjajanto, SH., MH., melalui keterangannya yang diterima jurnas.com di Jakarta, Senin (11/9/2023).

“Sayangnya, hal itu dianggap banyak pihak masih jauh dari rasa keadilan masyarakat. Sebab dalam kenyataannya, kondisi saat ini masih sangat dipengaruhi oleh kondisi yang berkaitan dengan sistem politik,” kata Agus.

Menurutnya, untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda milenial bahwa bangsa ini pernah mempunyai sejarah keadilan yang tidak saja tajam di bawah akan tetapi juga tajam di atas dan tengah. Itu terjadi pada masa kerajaan Kalingga yang salah satu pemimpinnya dijuluki sebagai ratu adil, yakni Ratu Shima.

Agus menuturkan, di Jawa Bagian Utara, tepatnya di Kecamatan Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, berdiri sebuah kerajaan pada abad ke 6 Masehi bernama Kerajaan Kalingga. Kerajaan tersebut awal berdirinya menganut agama Hindu karena masih silsilah keturunan Dinasti Syailendra Kerajaan Mataram Hindu yang ada di daerah Jawa Bagian Selatan.

Kerajaan Kalingga mencapai kejayaan saat diperintah oleh Raja Kartike Yasinga yang setelah wafat dilanjutkan oleh istrinya yang terkenal dengan nama Ratu Shima yang memerintah antara tahun 648 Masehi hingga 674 Masehi.

Pada masa Ratu Shima itulah Kerajaan Kalingga dalam sejarah yang dicatat oleh Dinasti Tang di Tiongkok dengan Nama Japa atau Holing disebutkan sebagai ratu teradil. Ratu Shima menerapkan hukum tidak hanya bagi kalangan rakyat bawah tapi juga pada kalangan pejabat. Bahkan, anak raja sekalipun.

Ratu Shima menerapkan hukuman potong tangan bagi siapa yang terbukti mencuri yang kala itu diterapkan dan diatur dalam kitab aturan hukum Kerajaan Kalingga yang bernama Kitab Kalingga Dharma Sastra. Kitab tersebut bersumber dari kaidah kaidah dan tata aturan yang hidup pada Kerajaan Kalingga. Kitab Kalingga Dharma Sastra merupakan Kitab Undang-Undang yang menerapkan hukum pidana pertama di Nusantara secara adil.

“Apakah hukum potong tangan dari Kerajaan Kalingga merupakan adopsi dari hukum Qisas yang bersumber dari hukum dalam Alqur`anul Karim? Apakah Ratu Shima beragama Islam saat itu saat itu? Diketahui jika Hukum Qisas dalam Alquran diatur dalam Surah Al-Baqarah ayat 178,” ujarnya.

Berdasarkan keterangan ahli Arkeologi Agus Aris Munandar, apabila ditarik ke belakang berdasarkan catatan sejarah dan sumber arkeologi dari prasasti prasasti yang ditemukan yang ada, Islam masuk Nusantara pada abad ke 7 Masehi di Barus Pantau Barat Sumatera.

Berdasarkan catatan dari Dinasti Tang di Tiongkok yang merupakan satu-satunya catatan tertulis tentang keberadaan Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Bagian Selatan dan Kerajaan Kalingga pada paruh waktu abad ke 6 dan 7 Masehi, disebutkan bahwa ada utusan dan mata-mata wilayah asing yang berada di Kalingga atas perintah dari penguasa Da Zi. Disebutkan dalam catatan Dinasti Tang yang merupakan sebutan untuk Orang Arab/Timur Tengah yang hidup di Pantai Barat Sumatera, untuk menguji hukum tetap tegak sengaja meletakkan tempayan berisi emas di pertigaan jalan. Hingga tiga tahun tempayan tersebut tidak pernah hilang.

Hingga suatu ketika karena mengganggu dipinggir jalan oleh pangeran atau anak dari Ratu Shima, maka tempayan tersebut digeser dengan kaki ke pinggir jalan agar tidak mengganggu orang berlalu lalang. Dan oleh karena tindakannya tersebut Sang Pangeran anak Ratu Shima berdasarkan masukan musyawarah para menteri dijatuhi hukuman potong ibu jari kaki karena telah menggeser tempayan tersebut .

 

Sumber Arkeologi

Agus menjelaskan, mengutip dari sejarawan Agus Sunyoto dalam Buku Mosaik Nusantara dan dari Ahli Arkeologi Agus Aris Munandar menyatakan, di samping sumber primair berupa catatan dari Dinasti Tang di China dan beberapa lokasi prasasti sebagai sumber arkeologi, ada sumber data sekunder berupa cerita rakyat yang turun-temurun dalam Babad Tanah Jawi.

Pertama, prasasti Tuk Mas Magelang yang ditulis dalam huruf Pallawa Bahasa Sanskerta, menuliskan Silsilah Dinasti Syailendra termasuk Ratu Shima merupakan keturunan Dinasti Syailendra.

Kedua, Candi Angin Situs Puncak Songolikur Gunung Muria. Berdasarkan penelitian pada abad ke 6 Masehi hingga ke 7 Masehi dan catatan perjalanan I Tsing yang hidup dikerajaan Sri Wijaya, Palembang.

“Kerajaan Kalingga saat Ratu Shima berkuasa, mayoritas masyarakatnya adalah pemeluk agama Budha Hinayana. Sementara saat Kerajaan Kalingga berdiri mayoritas masyarakatnya menganut Agama Hindu berdasarkan pengaruh dari Keluarga Dinasti Syailendra pada Kerajaan Mataram Hindu,” jelas Agus.

Saat Kerajaan Kalingga berdiri berdasarkan tulisan para sejarawan dan ahli arkeologi, Gunung Muria merupakan gunung berapi yang berdiri terpisah dengan Pulau Jawa. Kalingga dipisahkan oleh selat yang belum menyatu seperti saat ini akibat letusan dan pendangkalan selat. Pada gilirannya timbul dan berdiri Demak, Kudus, Pati Juwana, dan Rembang .

Pada saat Ratu Shima berkuasa, di Jazirah Arab setelah wafatnya Rasulullah adalah pada masa pemerintahan Baginda Usman bin Affan yang menggantikan Umar bin Khatab. Dan diketahui sudah ada para pedagang yang singgah dan menetap di Barus Sumatera Utara, tapi belum bisa masuk ke daerah pedalaman termasuk Pesisir Utara Jawa.

“Sejarawan dan Ahli Arkeologi baik Agus Aris Munandar maupun Agus Sunyoto merupakan Ahli dan Akademisi di era Kemerdekaan setelah Indonesia merdeka. Mereka tidak punya andil dan kepentingan dengan Penjajah Belanda dalam membelokan sejarah,” tuturnya.

Dengan demikian hukum yang diterapkan oleh Ratu Shima yang berkuasa dari tahun 648 - 674 Masehi merupakan hukum yang bersumber dari Kitab Kalingga Dharma Sastra yang merupakan aturan dan produk hukum dan politik hukum yang saat itu yang diberlakukan dan diterapkan pada Kerajaan Kalingga.

“Kitab yang ditulis di atas daun lontar dengan huruf Pallawa dengan bahasa Sansekerta tersebut hingga saat ini tersimpan di Musium RA Kartini Jepara. Masa kejayaan Kerajaan Kalingga dikenal juga sebagai kerajaan maritim dengan teknologi pembuatan dok kapal paling modern saat jamannya,” tutup Agus.

KEYWORD :

Hukum Ratu Shima Agus Widjojanto




JURNAS VIDEO :

PILIHAN REDAKSI :